Dari Anggaran ke Kekuasaan: Korupsi Jasa Konstruksi dan Keruntuhan Akal Sehat Tata Kelola

redaksi

Portalpopuler.com Situbondo Jatim Sabtu 13 Desember 225: Setiap akhir tahun anggaran, negara seperti memasuki mode darurat yang rutin. Tenggat waktu menjadi mantra, percepatan dijadikan dalih, dan penyerapan anggaran diangkat sebagai ukuran kinerja. Dalam suasana inilah proyek-proyek konstruksi digenjot tanpa henti, seolah keberhasilan pembangunan ditentukan oleh kecepatan menyelesaikan pekerjaan, bukan oleh kualitas tata kelola dan manfaat publik.

Masalahnya, pola ini tidak berdiri sendiri. Ia terhubung langsung dengan cara kekuasaan memandang anggaran. Ketika anggaran diposisikan sebagai target serapan, bukan sebagai instrumen kebijakan, maka seluruh proses—dari perencanaan hingga pengawasan—cenderung kehilangan akal sehatnya. Pembangunan bergerak, tetapi arah dan tujuannya kabur.

Korupsi jasa konstruksi tumbuh subur dalam kondisi tersebut. Ia bukan semata tindakan ilegal individu, melainkan konsekuensi dari desain kebijakan yang membuka ruang kompromi berlapis. Pada fase perencanaan, proyek sering lahir dari logika politik, bukan analisis kebutuhan. Usulan program disusun untuk memenuhi janji elektoral, menyeimbangkan kepentingan elite, atau mengamankan dukungan, sementara kebutuhan riil warga menjadi variabel sekunder.

Ketika masuk tahap penganggaran, legitimasi formal diberikan melalui proses politik yang minim deliberasi substantif. Pembahasan lebih banyak berkutat pada besaran angka dan distribusi pos, bukan pada rasionalitas program dan dampak jangka panjang. Dalam situasi ini, fungsi pengawasan melemah, dan anggaran berubah menjadi objek tawar-menawar yang sah secara prosedural namun rapuh secara etis.

Tahap pengadaan kemudian menjadi arena krusial. Di atas kertas, regulasi tampak ketat dan sistem elektronik menjanjikan transparansi. Namun dalam praktik, kepatuhan prosedural sering menggantikan integritas substansial. Persaingan sehat direduksi menjadi kelengkapan administrasi, sementara kualitas dan rekam jejak dikesampingkan. Proses terlihat bersih, tetapi hasilnya tidak selalu mencerminkan efisiensi dan kepentingan publik.

Baca Juga:
Presiden Prabowo Perintahkan Pengawasan Ketat Proyek Negara

Pelaksanaan proyek memperlihatkan konsekuensi nyata dari rangkaian keputusan tersebut. Tekanan waktu dan target serapan menjadi pembenaran untuk kompromi mutu. Laporan administratif disesuaikan agar sejalan dengan rencana, bukan dengan realitas lapangan. Infrastruktur berdiri, tetapi daya tahannya sering dipertanyakan. Publik menikmati hasil jangka pendek, namun menanggung risiko jangka panjang.

Pengawasan—baik internal maupun eksternal—kerap tidak mampu memutus rantai persoalan. Pengawasan internal terjebak dalam relasi hierarkis dan konflik kepentingan. Pengawasan eksternal datang setelah masalah terjadi. Temuan diperlakukan sebagai kesalahan teknis yang bisa diperbaiki, bukan sebagai sinyal kegagalan desain kebijakan.

Relasi kuasa memperkuat seluruh rangkaian ini. Di banyak daerah, keputusan tidak hanya diambil berdasarkan aturan, tetapi juga berdasarkan kedekatan dan loyalitas. Kekuasaan administratif bercampur dengan kepentingan personal. Dalam ekosistem seperti ini, kritik dianggap mengganggu stabilitas, dan transparansi dipersepsikan sebagai ancaman.

Berbagai kasus yang terungkap ke publik menunjukkan bahwa praktik ini bersifat berjaringan. Tidak ada pelaku tunggal, tidak ada tahap yang benar-benar steril. Namun penindakan hukum sering kali berhenti pada individu, seolah masalah selesai ketika satu nama disebut. Sistem yang memungkinkan pengulangan jarang disentuh secara serius.

Dampak sosial dan ekonomi dari kondisi ini sangat nyata. Infrastruktur cepat rusak, biaya pemeliharaan meningkat, dan ruang fiskal menyempit. Anggaran yang seharusnya memperluas akses layanan publik justru habis untuk menutup kebocoran dan memperbaiki kegagalan. Yang lebih berbahaya, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah terkikis perlahan namun pasti.

Dalam konteks ini, kampanye anti-korupsi tanpa reformasi struktural berisiko menjadi ritual simbolik. Spanduk dan slogan tidak akan cukup jika relasi antara kekuasaan, anggaran, dan pengawasan tidak dibenahi. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang: dari pembangunan sebagai proyek fisik menjadi pembangunan sebagai proses etis.

Baca Juga:
Penanganan Cepat Polsek Prajekan Tangani Pohon Tumbang yang Menghambat Akses Jalan

Kritik terhadap korupsi jasa konstruksi bukanlah sikap anti-pembangunan. Justru sebaliknya, kritik adalah upaya menyelamatkan pembangunan dari pembajakan kepentingan. APBD dan APBN adalah kontrak sosial antara negara dan warga. Ia menuntut pertanggungjawaban moral, bukan sekadar kepatuhan administratif.

Keterangan fhoto: Eko Febriyanto Ketua Umum LSM SITI JENAR

Pada akhirnya, keberhasilan pembangunan tidak diukur dari berapa banyak proyek yang selesai sebelum akhir tahun, melainkan dari seberapa kuat kepercayaan publik yang berhasil dijaga. Tanpa kepercayaan itu, pembangunan hanya akan menjadi rutinitas mahal—besar di anggaran, kecil di manfaat, dan rapuh di fondasi.

Penulis: Eko Febrianto

Ketua Umum LSM SITI JENAR

(Red/Tim-Biro Siti Jenar Group Multimedia)

error: Content is protected !!