Portalpopuler.com Situbondo, 9 Juni 2025:Isu mencengangkan mengguncang wilayah Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo. Sebuah dugaan penyimpangan serius mencuat dari program bantuan jambanisasi, setelah dua Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) secara terbuka menandatangani pernyataan tertulis mengenai permintaan pengumpulan dana yang diduga dilakukan oleh seorang oknum anggota DPRD Situbondo berinisial FS.

Permintaan dana tersebut disebut-sebut berasal dari uang pencairan tahap pertama dan kedua untuk pembangunan jamban di beberapa desa, tanpa penjelasan atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun administrasi.
Pengakuan Ketua Pokmas: Diminta Uang, Proyek Mangkrak.
Salah satu pengakuan datang dari M. Sadli, Ketua Pokmas Sumberanyar Berjaya, Desa Sumberanyar. Ia mengungkap bahwa oknum anggota dewan FS secara langsung meminta sejumlah uang dari dana pencairan tahap awal. Anehnya, proyek jamban yang seharusnya berjalan justru terhambat dan belum tuntas.
“Saya diminta menyerahkan uang dari pencairan tahap pertama oleh FS. Tapi tidak ada kejelasan, karena sampai sekarang jamban baru dikerjakan 10 unit dan itu pun belum selesai. Saya merasa ini sudah tidak transparan lagi,” ujar M. Sadli saat dikonfirmasi.
Pernyataan serupa juga datang dari Ustaz Hasan, Ketua Pokmas Semambung Berjaya, Desa Semambung. Ia membenarkan bahwa dirinya juga diminta menyerahkan sejumlah dana kepada FS. Meski demikian, proyek jambanisasi di desanya berhasil diselesaikan sebanyak 25 unit karena dirinya secara konsisten menekan FS agar bertanggung jawab.
“Betul mas, saya juga diminta mengumpulkan uang dari pencairan tahap pertama. Tapi saya tidak diam, saya tekan terus FS supaya proyek jamban di desa kami bisa selesai. Untungnya tuntas, tapi saya tetap bingung untuk apa uang itu diminta oleh FS,” tutur Ust. Hasan saat ditemui di kediamannya, setelah menandatangani pernyataan resmi.
Tanpa Klarifikasi, Dugaan Makin Kuat:
Hingga saat berita ini diterbitkan, FS selaku pihak yang disebut-sebut dalam dugaan pungutan liar ini belum memberikan klarifikasi resmi. Padahal, isu ini sudah menyebar luas dan menjadi perbincangan masyarakat Jatibanteng. Diamnya FS hanya memperkuat dugaan keterlibatannya dalam praktik tak pantas yang berpotensi mencoreng citra DPRD Situbondo.
Ketiadaan tanggapan juga mengundang kritik keras dari masyarakat yang berharap adanya transparansi dan pertanggungjawaban publik dari para pejabat, terutama dari kalangan legislatif yang seharusnya menjadi pengawas, bukan justru pelaku.
Kekhawatiran Masyarakat: Fungsi DPRD Disalahgunakan?
Masyarakat Jatibanteng kini dibayangi keresahan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga legislatif. Dugaan bahwa seorang anggota dewan ikut bermain dalam pelaksanaan teknis proyek pembangunan kecil seperti jamban, dinilai sebagai bentuk penyimpangan yang tidak bisa ditoleransi.
“Anggaran bantuan jamban saja diduga diembat, apalagi anggaran yang nilainya miliaran. DPR itu fungsinya apa? Masa urusan jamban juga ditarik keuntungan? Ini menyedihkan,” kata seorang warga saat dimintai komentar.
Sebagian warga bahkan mendesak agar lembaga seperti Inspektorat Kabupaten, Badan Kehormatan DPRD, dan bahkan aparat penegak hukum turun tangan melakukan penyelidikan. Dugaan keterlibatan FS dalam permintaan uang dari dana bantuan publik dipandang bukan hanya melanggar etika, tetapi bisa mengarah pada tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan penggelapan.
Desakan Transparansi dan Investigasi:
Kasus ini menjadi ujian serius bagi tata kelola pemerintahan daerah, khususnya di Kabupaten Situbondo. Program jambanisasi yang seharusnya mendorong kesehatan dan sanitasi masyarakat miskin, justru kini tersandera oleh praktik tak terpuji dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan rakyat.
Muncul dorongan dari kalangan tokoh masyarakat agar pemerintah daerah segera meninjau ulang keterlibatan anggota DPRD dalam proses-proses teknis bantuan sosial. Peran legislatif harus kembali pada jalur pengawasan dan legislasi, bukan turun tangan dalam pencairan dan pelaksanaan anggaran.

Jika dugaan ini terbukti, maka publik menuntut sanksi tegas—baik secara hukum maupun etik—demi menjaga marwah lembaga DPRD dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
(Sub-Biro Situbondo, Reportase Today)